Sunday, December 12, 2004

Saat Aku Takut Alloh SWT meninggalkanku

Ketika firasatku mengatakan akan meninggalkan dunia fana ini, yang terlintas dalam bayanganku adalah perasaan bersalah pada orang-orang yang telah dekat dalam kehidupanku. Orang tua, ya … Ibu dan bapak, kakak-kakaku, teman-temanku, Mba Al … mungkinkah mereka telah memberi maaf padaku. Bagaimana bila mereka belum memaafkanku, pasti dosa yang kutanggung sangatlah berat. Yaa Alloh … Yang Maha Pemaaf, Yang Maha Pemurah, ampuni dosa-dosaku selama ini. Aku takut bila dosa yang kutanggung membuat Engkau murka padaku, aku takut …
“Yaa Alloh … Perbaikilah agamaku, karena agamaku adalah pelindungku, perbaikilah akhiratku karena akhiratku adalah tempat kembaliku.Yaa Alloh… Jadikanlah hidupku sebagai tambahan kebaikanku. Dan jadikanlah akhiratku sebagai tempat istirahatku dan penghenti perbuatan burukku”.(Abu Hurairah)
Setelah menikmati pemandangan alam pegunungan Saranglaya yang Masyaallah indahnya, kami memutuskan untuk “naik” gunung di Puger, Jember. Hanya berdua? Yaa, hanya aku dan Lei (sorang teman perempuan). Lei memang asli dari Puger cuman dia belum pernah naik gunung yang satu ini. Perjalanan kami mulai dari pukul setengah enam pagi. Kami diantar oleh kakak Lei ke dermaga, tempat berlabuh kapal-kapal. Kami pamit pada kedua orang tua dan kakanya Lei hanya ingin menyebrang ke pesisir, namun sebenarnya kami berdua memiliki rencana lain, yaitu ingin mendaki gunung yang saat itu masih ditutupi kabut pagi. Pak Toyan, tetangga dekat rumah Lei memberikan bantuan dengan mencarikan sebuah kapal yang hendak menyeberang. Yes! Dapet, … ! Kapal yang hanya muat dinaiki sekitar 10 orang saja ini berhasil menyeberangkan aku dan Lei ke tempat tujuan. Si bapak perahu bertanya, kapan kita mau pulang biar nanti beliau yang menjemput. Tapi, berhubung kita belum bisa menentukan kapan kita pulang akhirnya kita berdua mutusin kalau kita pulang sekitar jam 9. Gak salah neeh???
Dengan mendaki Gunung Saranglaya ini kita berdua berharap dapat melihat keagungan akan ciptaan Alloh SWT, yaitu keindahan birunya laut selain pemandangan dari gunung itu sendiri. Aku dan Lei yakin kalau kita bisa menaklukkan gunung ini dengan mudahnya, karena selalu saja ada jalan setapak yang dapat mengantar setiap pendaki naik ke puncak. Kami sampai di perbukitan, di sana ada rumah penduduk sederhana, mereka memang tinggal di rumah itu. Beberapa di antaranya bertegur sapa dengan kami, ternyata mereka akan mananami bukit ini dengan jagung dan kacang tanah. Mereka bertanya kenapa kami hanya berdua saja, apa kami berani? Iyaa pak, siapa takut? … (MasyaAlloh takabur ya…?)
Setiap orang yang kami jumpai, kami tanya arah jalan yang benar menuju puncak gunung. Orang yang terakhir kami temui adalah seorang ibu-ibu yang sedang mencangkul tanah, memakai baju berwarna merah. Beberapa saat kami mengobrol, bercerita tentang keluarganya, tentang asal aku dan Lei, dan jalan yang akan kita tempuh. Meskipun si ibu memberikan petunjuk dengan jelasnya, aku dan Lei merasa jalan itu terlalu jauh, jadi aku dan Lei memutuskan untuk mencari jalan sendiri. Inilah awal dari cerita ini
“Gimana kalau kita lewat bukit ini saja Lei, bukan lewat jalan setapak. Sepertinya jalan setapak itu terlalu jauh? Aku bertanya pada Lei, kemudian ia mengiyakan usulku tadi. Tujuan kita saat ini adalah mendaki setinggi mungkin untuk sampai di puncak gunung, namun belum sampai di puncak saja pemandangannya sudah “wow …Subhanalloh”, bayangkan saja: Aku berdiri di atas sebuah batu besar. Dengan berdiri di batu besar itu aku dapat melihat lautan biru yang membentang luas tiada batas, lalu perkampungan nelayan lengkap dengan dermaga yang diparkiri banyak kapal nelayan, ditambah pemandangan dari gunung ini sendiri. Aku jadi tak sabar ingin cepat sampai di atas sana, bagaimana pemandangannya? Aku jadi penasaran. Lei menarik tanganku mengisyaratkan kalau jalan kita masih jauh untuk sampai di atas sana. Semangat!!! Ayo, kita harus sampai di sana! Inginnya sih sampai di sana sebelum kabut ini hilang, jadi masih kebagian kabut pagi. Mudah-mudahan, Insyaallah …
“Lei, pemandangannya bagus ya? Aku seneng de’h bisa naik, soalnya aku dah lama gak naik. Makasih yaa, kamu dah ngasih SIM”
“Lho, ‘Ke apa itu SIM?”
“Eleuh-euleuh e’ta geuning gak tau SIM, Surat Ijin Mendaki Neng… Heeee………ee”
“Lho, Lei dari tadi kita naik kok nggak menemukan jalan setapak aja ya? Apa jalan ini salah yaa? Jalan yang kita lalui lumayan sepi, kering, dan kayaknya belum pernah dijamah orang. Aduh gimana dong?”
“Ih kamu ‘Ke, jangan menyerah dulu dong, baru jalan satu setengah jam aja udah menyerah, Kita coba dong! Justru karena belum dijamah orang itu, kita berdua yang pertama menjamah dan kita harus berhasil, yaa kita berdoa aja mudah-mudahan sampai di atas. Udah, yuk jalan lagi …”
Naiiiiiiiiiik terus, kok gak ada aja jalan setapak itu, mana jalannya udah mulai menakutkan: Jalan lumayan terjal, tanahnya kering, banyak pohon-pohon kecil berduri, semak-semak sulit kita lalui, Kepeleset sedikit aja, wah lumayan deh kita jatuh ke bawah … gak mungkin seketika itu ada orang yang nolongin kita. Ini kan bukan perkampungan penduduk, jadi kalau misalkan salah satu dari kita jatuh, yang selamat musti turun, cari orang di bawah. Intinya aku dan Lei harus hati-hati, yap EXTRA HATI-HATI !
“Mana Lei jalan setapaknya…kok ngga ada aja, gimana kalau kita nyasar, muter-muter aja di tempat yang ini-ini aja, Ih coba tadi kita nurut aja sama ibu baju merah, ngga bakalan gini jadinya. Aduh, jilbabku kena duri ni, tolongin aku Lei”
Di tengah-tengah rasa takut itu aku dihadapkan dengan bukit batu yang harus kita naiki, aku yang agak phobia ketinggian menanamkan keyakinan kalau aku dan Lei harus sampai di atas, karena kalau sudah sampai di atas mungkin ada jalan setapak dan akan ada banyak orang di sana.
“ ‘Ke, untung aja ada akar-akar kuat ini ya, jadinya kita bisa merayap. Hati-hati ya ‘Ke batunya licin. Gimana, sandalmu mau dicopot ngga?”
“ Ngga ah, aku malah mau pake terus ini sandal. Abis banyak durinya sih, kan lumayan tuh kalau kaki kita kena duri, wah bengkaknya bisa berapa hari nih”
Berjalan terus naik membuat kaki kita bedua pegal-pegal. Lei capek, begitu pula dengan aku. Kemudian kami berdua istirahat di bawah ranting-ranting pohon yang kering, dengan bertahan pada sebatang pohon. Ngga bisa kita istirahat di tanah, soalnya tanahnya terjal, terlalu banyak daun kering berserakan. Jadinya kita bertengger di pohon bak seekor burung yang sedang mengistirahatkan kedua sayapnya yang kecape’an.
“ Aduh, ngeri aku Lei, kenapa kita belum nyampe-nyampe aja. Udah yuk istirahatnya, mumpung masih ada tenaga buat naik.”
Dengan merayap dibantu akar-akar pohon yang ada di sekitar kita, aku dan Lei terus menyusuri semak-semak belukar. Aku yang jalan di depan, meminta Lei untuk bergantian jalan di depan. Sabar, sabar, mungkin dengan sabar dan tetap yakin akan pertolongan Alloh, aku dan Lei bisa nyampe di atas. Tapi aku yang udah keburu panik dan “agak” ngga sabar jadi uring-uringan sama Lei, pokoknya semua yang ada di dalam hatiki ku keluarkan semuanya. Sampai pada klimaksnya Lei memintaku agar aku jangan uring-uringan terus, dan Lei memutuskan untuk berbalik arah untuk turun ke bawah, jangan ke atas lagi.
“Apa, turun? Ngga salah ni. Padahal kita udah berjalan sejauh ini, dan tujuan kita kan memang untuk naik, kenapa ngga ke atas aja Lei?”
“ Liat aja ‘Ke, kita jalan teruuus, setiap bukit yang habis kita naiki, yang kita kira puncaknya, nyatanya bukan puncak dan itu terjadi berulang-ulang. Aku ngga bilang kita nyasar dan berputar-putar, hanya saja aku pikir lebih baik kita turun ke bawah, mengambil ke arah kanan. Udah deh keinginan kamu buat liat pemandangan dari atas kamu batalin aja alo udah gini keadaannya. Kayaknya kita ngga mungkin berjalan ke atas lagi. Tenaga kita mulai habis ‘Ke, tadi kan kita belum sarapan.”
Lei memang benar, kita berdua harus segera turun dari sini. Berubahlah tujuan kita sekarang ini hanya ingin sampai ke bawah lagi, bertemu dengan si ibu berbaju merah tadi. Kemudian kita berdua memutuskan untuk turun dengan Plus Extra Hati-hati. Jalan yang kita lewati untuk menuruni bukit ini kita ambil ke arah kanan bawah, jadi bukan jalan yang kita naiki tadi.
“ Lei, mudah-mudahan jalan yang kita pilih ini benar ya? Ayo kamu duluan Lei …”
“ Ih kok ngga ada orang sih Lei, aku takut ni. Toloooooooong,…! akhirnya aku berteriak minta tolong.
“ Sst, ‘Ke kamu jangan berteriak gitu dong?”
“ Lho, kenapa? kita berdua kan memang membutuhkan pertolongan dari orang lain.”
“ Iya kalo ada orang yang mau denger, kalo bukan orang gimana ‘Ke?”
Bila dibandingkan dengan Lei, mungkin aku kalah tenang dan sabar. Karena kuperhatikan sejak kami berangkat Lei tenang dan mungkin itu karena pembawaannya. Untunglah Lei orangnya sabar dan bisa menenangkan suasana, coba kalo Lei sama sepertiku apa jadinya perjalanan kita ini. Mungkin kami berdua akan bertengkar terus selama perjalanan turun. Syukur alhamdulillah … aku jadi bisa belajar dari Lei : belajar untuk bersabar.
“ Lei, kok jalannya serem yaa? Udah terjal, banyak ranting berduri, mana panas lagi.” Astagfirullah. Yaa Alloh Yang Maha Penyayang, Yang Maha luas Pertolongan-Nya, ijinkanlah agar kita berdua bisa sampai di bawah dengan selamat. Berikanlah pertolongan-Mu Yaa Alloh … ingin sekali saat itu aku menangis. Pikiranku jadi kacau, semua rasa takut yang belum pernah ku temui muncul dalam benakku. Apa yang akan terjadi bila aku jatuh nanti? Yang ada dalam bayanganku adalah Ibuku pasti sedih, kenapa aku tidak menuruti kata-katanya. Ibuku pernah berpesan : ‘Ke, kamu boleh jalan ke mana aja, keliling carilah pengalaman yang banyak. Ibu tidak akan melarangmu, kamu kan sudah besar jadi sudah dapat memilih jalan yang baik buatmu sendiri. Asal satu aja yang Ibu larang, kamu jangan naik gunung, itu aja. Selain itu aku takut meninggalkan dunia ini dengan cara yang seperti ini, mengapa aku tidak meninggal dalam keadaan sedang beribadah kepada Alloh SWT, mengapa tidak sedang membantu sesama saudara kita, mengapa ketika aku sedang naik gunung. Aku juga takut meninggalkan Ibuku, kakak-kakaku, teman-temanku : teman kuliahku, teman kostku, semua wajah temanku saat itu ada dalam bayanganku muncul satu persatu. Apa mungkin ini sebuah pertanda aku akan meninggalkan dunia ini, … ah mudah-mudahan belum waktunya, mudah-mudahan aku bisa membalas kebaikan mereka semuanya dulu. Aku ingin sampai ke jenjang status nenek, lucu yaa … ? Aku ingin merasakan menjadi seorang ibu yang disayang anak-anaknya, seorang istri yang menuruti perintah suaminya (ehm…). Oh iya, aku kan belum membalas budi pada Ibuku, kakak-kakaku, saudara-sudaraku, semuanya deh teman-temanku juga
Yang ada dalam bayanganku: mungkin bila aku dan Lei jatuh, orang tua Lei pun pasti akan sedih, mengapa kita berbohong. Aku ngga bertanggung jawab ngajak-ngajak Lei naik gunung tapi ngga kembali. Hii … takut !!! Jangan ah Naudzubillahimindzalik ….
Aku dan Lei turun pelan-pelan ke bawah dengan cara duduk jongkok di dedaunan trus badan kita sengaja diperosokkan ke bawah. Kita mengandalkan akar-akar yang ada di tanah, nyerosot dengan tangan berpegangan akar-akar. Lei berada di depanku, dan satu saat dia terlepas begitu jauhnya hingga terpental jatuh. Tapi untunglah Lei kuat dan tidak mengeluh, meskipun aku tau rasanya pasti sakit. Mungkin Lei berbohong agar aku tidak begitu mengkhawatirkan keadaannya.
Dalam hati aku terus berdoa, membaca surat favouritku yaitu ayat kursi beberapa kali, ditambah surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas sebanyak-banyaknya. Dengan begitu aku bisa merasa sedikit tenang dan ikhlas menghadapi keadaan seperti ini. Mudah-mudahan aku dan Lei bisa sampai tanah datar. Amin. Aku ingin cepat sampai di rumah Lei, aku haus sekali, aku ingin minum beberapa gelas air putih.
“ ‘Ke, kita udah turun jauh ni dari atas tadi. Kita istirahat dulu yaa … ni diminum dulu airnya. Kuenya kamu mau ngga?”
“ Ngga deh, makasih Lei. Aku ingin cepet-cepet turun, sekarang kita istirahat aja”
Aku dan Lei istirahat kurang lebih lima menit. Jilbabku dah ga karuan bentuknya, karena banyak terkait duri yang tajam. Pokoknya bentunya jadi aneh, yakin di toko ngga ada yang jual. Jalan yang kami turuni ternyata medannya lebih berbahaya dari jalan naik tadi. Di jalan turun ini banyak tebing yang kita turuni. Tebing tersulit yang kita turuni setinggi kurang lebih rumah dengan dua tingkat. Wuiih … lumayan juga ni medan. Perasaan takut itu datang kembali, Yaa Alloh aku takut sekali, melihat ke bawah membuat aku jadi pusing. Lei masih tetap berada di depanku, masih tetap tenang seperti biasa.
“ Wah ‘Ke tebing yang ini tinggi sekali, kita ngegelantung aja lewat akar-akar, oh iya jangan liat ke bawah! Aku duluan yaa, nanti kamu harus trieple hati.”
“ OK deh Lei, kita harus BISA. Jadi kayak team building aja yaa?”
“ Iya, cuman medan yang ini kan ngga disurvey dulu. Kita langsung menghadapi bahaya berdua. Nah kalau team building kan disurvey dulu, mungkin kalau seperti ini medannya gak lulus sensor kali yaa?”
Lei turun pelan-pelan dgn berpegangan pada akar-akar yang bergelantungan menempel di tebing. Sulit sekali kita mencari jalan keluar, karena akarnya terlalu banyak dan berkelompok . Kita berdua sama-sama berpegangan sangat erat pada akar-akar itu, Jangan sampai tangan kita terlepas dari pegangan. Hup … ! Lei berhasil sampai di bawah dengan selamat. Tinggal aku … tunggu Lei, kamu harus tunggu aku !!!
Dengan kekuatan dan keyakinan bahwa “aku bisa” aku pun mencari jalan di antara akar rimbun ini. Akar yang satu beralih ke akar yang lainnya, yang letaknya lebih bawah. Hup … kedua tanganku berpegangan pada akar, sedangkan kakiku menapak pada batu runcing yang berbentuk segitiga, atau bila tak ada batu runcing kakiku harus menempel sejajar di akar yang kupegangi. Wah-wah bener-bener perjuangan berat nih. Perasaan was-was dan deg-degan, gimana kalau kepeleset. Sesaat aku memandang ke bawah dan sekitarku. Di sekitarku ternyata aku melihat dua ekor monyet yang sedang bergelantungan di dahan pohon. Aku jadi takut sekali, padahal aku baru sampai setengah dari tebing ini. Bismilahirrohmanirrohim … Yaa Alloh, mudah-mudahan monyet-monyet itu ngga ngedeketin kita berdua.
“ Lei, aku liat dua ekor monyet. Aku takut Lei !”
“ Udah, jangan diliat terus ! Ngga ada monyet, kamu harus ke bawah dulu”
Finnaly, aku sampai juga di tanah. Aku berdiri di sebelah Lei.
“ Lei, masa kamu ngga liat monyet-monyet itu?”
“ Ngga ah, jangan deh “
Aneh, aku tadi melihat dengan jelas ada dua ekor monyet berwarna hitam melihat ke arahku. Aku dilihat oleh kedua monyet itu dengan tajamnya. Ngga mungkin itu hanya khayalanku, mana mungkin sedang menghadapi keadaan seperti ini menghayal bertemu dengan monyet. Tapi meski bagaimanapun juga aku harus bersyukur kepada Alloh, karena kedua monyet itu tidak mau mendekati kami, kedua monyet itu menjauh dari aku dan Lei. Alhamdulillah Yaa Alloh … Engkau tak henti-hentinya melindungi kami
Ternyata tebing yang kita kira terakhir ini di bawahnya masih ada beberapa tebing lagi, hanya saja tingginya seukuran daun pintu saja. Kita masih harus tetap berjuang mencari jalan keluar untuk sampai ke tanah datar. Untuk sampai ke tujuan, aku dan Lei nyerosot lagi. Kayak turun dari perosotan anak TK. Aku yang saat itu memakai celana panjang berbahan katun kaget ketika menyadari bahwa celana yang kupakai “terluka” pada bagian kanan belakang. Lei tertawa terbahak-bahak melihat celanaku. Ia tidak menyangka kalau celanaku bisa “luka parah”. Sementara celana Lei hanya koyak dan kotor saja. Ia hanya tertawa terpingkal-pingkal melihat “luka” di celanaku. Ayo Lei, kita lanjutkan perjalanan kita. Udah siang nih “
Setelah melewati perjuangan yang berat ini, akhirnya aku dan Lei sampai di tanah datar. Aku mengucapkan syukur berkali-kali kepada Alloh. Aku dan Lei berpelukan erat, erat sekali. Kami tak menyangka akan selamat sampai di tanah datar, senang sekali rasanya. Haru, … kami akhirnya bertemu dengan dua orang bapak yang sedang mencangkuli tanahnya yang akan ditanami kacang. Mereka kaget kita berdua turun dari gunung itu, mereka bilang kok kita berdua berani-beraninya naik hanya berdua. Aku dan Lei melepas rasa cape’ ini dengan duduk di sebuah gubuk kecil, masing-masing melihat bentuk pakaian yang kami kenakan berantakan dan berubah bentuk dan warna. Dari sini aku bisa melihat gunung yang kami naiki tadi dan laut biru sekaligus istirahat : minum dan memakan bekal yg kami bawa tadi. Lucu deh karena kuenya jadi remuk, penyok, tapi rasanya tetap enak.
“ Lei, kita masih harus berjalan ya? Padahal kakiku udah pegel-pegel ni “
“ Katanya pengen cepet sampe rumah, ayo kita tinggal jalan sedikit lagi nih “
Selama perjalan pulang kami menyusuri ladang dan sampai di pesisir, aku menemukan sebuah batu berkilauan, bagus deh. Aku bawa pulang, buat kenang-kenangan. Mungkin ini “hadiah keberhasilanku” dari Alloh SWT.
Baru kali itu aku merasa takut yang sangat, karena rasa takut sebelumnya yang aku rasakan ngga seperti ini. Syukur Alhamdulillah aku bisa selamat sampai aku bisa menulis cerita ini. Oh iya, hikmah yang bisa aku ambil dari kejadian ini :
1. Jangan menyepelekan sesuatu yang tampaknya mudah kita lakukan. Sikap menyepelekan itu identik dengan sombong, dan sombong itu datangnya dari setan. Dalam menghadapi suatu keadaan kita harus tetap optimis, namun bukan berarti menyepelekan.
2. Sikap sabar dan iklas diperlukan dalam menghadapi berbagai keadaan.
3. Rasa takut yang berlebihan akan menimbulkan keguncangan dan keresahan jiwa, tetapi rasa takut yang seimbang dan tidak berlebihan mendorong manusia untuk melakukan pekerjaannya dengan baik.
4. Selalulah kita memohon pertolongan kepada Alloh SWt, karena hanya Dia-lah yang selalu memberikan pertolongan kepada umat-Nya.



Sunday, November 21, 2004

Harapku

Harapku Yaa Alloh ...
Beri bunda yang kucinta hati yang tabah
Agar selalu tegak berdiri
Menantang kerasnya hidup
Yaa Alloh
Tolong bimbing bunda
Selagi dia lupa
Karena Jauh dan Sepi
9 juni 21.10

Wednesday, September 15, 2004

Bawalah aku dalam laut-Mu


Bawalah aku dalam laut-Mu
Tenggelam di antara air yang bergelombang
Menatap wajah-Mu yang penuh keindahan
Seperti waktu yang beranjak menuju ke titik kelam
Bawalah aku dalam buayaian-Mu
Cintailah aku dalam cinta-Mu
Lindungilah aku dalam dekapan-Mu
Tuhan, hidupku hanya menunda waktu yang sesaat
hanya untuk mengabdi kepada-Mu seperti mereka yang kaku
Tinggalkan azab dan fana
Maka matikanlah aku dalam syahid-Mu
Ketika gelombang air laut sampai pada pantai yang berpasir
Masihkah aku dalam cinta-Mu
Seperti-Mu menidurkanku dalam kekalahan yang abadi
Tuhan aku mengabdi kepada-Mu

-karsidi setyono-

Saturday, August 28, 2004

Masa Kecilku

Masa kecil adalah masa yang paling indah dalam ukuran waktu itu karena aku bisa bermain kesana kemari meski harus dibatasi dan diawasi, aku lahir di kota kecil tepatnya di Rangkas Bitung, Serang Banten.Kami lima bersaudara, terdiri dari empat orang kakak laki-laki dan kelima aku, "si bungsu".Sampai aku berusia 2 th kami sekeluarga pindah ke Tasikmalaya, jawa barat.Di kota inilah aku mulai mengenal huruf hijaiyah, alif,ba,tsa,...etc di masjid (lupa namanya)bersama teman-temanku lainya, ada farida,winda,jaja,ozi,priya,oki.Biasanya sehabis pulang mengaji kami langsung bermain permainan tradisional seperti galah,baren,pecle,gobag sodor,congklak (mereka masih ingat gak ya?).Waktu kecil aku termasuk anak yg periang,lincah,supel, dan (agak) tomboy. Ya tomboy, mungkin karena ke-4 kakaku laki-laki aku agak terkontaminasi, ^ - ^.Naik-naik pohon sampe genteng rumah,sampai ibu tetangga berteriak2 menggil ibu,hii...jadi rame.Berantem ma laki-laki juga pernah,dia gak mau berhenti ngatain aku "jawa kowek", kan jadi sebel terus aku lawan tanpa pertolongan, eh aku menang !!Pernah juga belajar sepeda sampe masuk ke kali,hee..untung ada kakak. Oya,waktu tk aku pernah ikut lomba baca al-quran,juara dua.Hadiahnya kerudung,baju b'warna ungu, dan juz ama.wuiiih senangnya
Apalagi sewaktu Iduel Fitri tiba, semua saudaraku datang ke rumah yangkung, di Boyolali, jawa tengah yang barang tentu merupakan pertemuan yang menyenangkan karena aku bisa bermain dengan saudara sebayaku.Banyak sekali cucu dari yangti & yangkung, semuanya berjumlah 38 orang. Sedang saudaraku yang sebaya ada sekitar 8 orang.Rumah yangti cukup besar, ada 5 kamar.Biasanya kalo lebaran,ruang keluarga dijadikan tempat tidur sementara,anak-anak semua tidur depan tv,biasanya nonton acara di tv sampe jam 1 malem...berjajar pulau-pulau. Pagi hari pasti kami jalan pagi, wuusss udara boyolali seger. Biasanya kami sarapan pagi bubur sambal tumpang,enak deh.Saat-saat yang paling ditunggu2 tiba,malam idul fitri kami takbiran ba'da isya,b'main air mancur dan kembang api,keliling takbiran. Besoknya ganti baju baru,solat ied di lapangan depan kantor bri,pulangnya makan lontong opor,lalu bermaaf-maafan,mulai dari ibu kepada yangti, antre sampe tiba giliranku,untung ibu adalah putri pertama yangti jadi gak lama.Sepupuku yang lain menunggu lama karena saudara ibu berjumlah 9 orang.
Hore dapet uang...!!Bule' biasa memberikan hadiah uang,dengan pertanyaan "gimana puasanya? dapat berapa hari?..." Alhamdulillah buat tambah-tambah tabungan.
Perpisahan,kalo tiba saat ini aku pasti menangis dan mataku berubah warna jadi merah (biasanya kalo mata dah merah,sepupuku yang lain menertawakanku).Pulang kembali ke rumah sekolah lagi, biasanya bu guru menyuruh membuat karangan dg tema lebaran.
Wuiih, masa kecilku

Sunday, August 22, 2004

Pengaduan Di Ujung Malam

Sepertiganya yang pekat, malam begitu banyak menyimpan rahasia, Siang hari memang memberi kita begitu banyak penghidupan ( living).tapi sejujurnya malam lah yang memberi kita kehidupan ( life).

Sejumput nasi,seteguk air ,selembar ribuan juga prestise dan cita rasa apa saja, adalah pemburuan kemanusiaan kita di siang hari. Dengan itu kita mendapat penghidupan - meski sebagianya kadang kita buru dengan cara yang sangat kotor.

Tapi, sejujurnya- sekali lagi - malam lah yang menberi kita kehidupan.Dalam damainya yang dalam.atau sunyinya yang tulus.Saat tak ada desah angin dan lambaian dedaunan, itulah saat terbaik yang di yatakan ALLAH untuk beristirahat.

Maka malam, adalah tempat kita mengambil segala energi ,lahir dan bathinya, saat semua kepenatan siang tertumpakan dalam diam,pada malam itu. Setiap nyawa menutup mata , malam adalah hiasan,tanda kekuasaan,sekaligus pakaian.

Tetapi rahasia malam . bagi orang-orang beriman, tak berhenti pada sumber energi kehidupan lahiriahnya. Ya, sebab pada setiap sepertiga malam terakhir , ALLAH SWT turun ke langit bumi,lalu kesempatan kepada para hamba-Nya, untuk memohon dan mengadu keadaan-Nya, dalam kesendirian yang murni, berdua dengan-Nya.

Disinilah Rahasia itu, pada sepertiga terakhir dari setiap potong malam. Itulah lah kehidupan itu. adakah kehidupan, yang lebih utama dari memohon kepada ALLAH lalu di beri, meminta lalu dikabulkan-Nya, serta mengharap ampun lalu di ampunkan-Nya.....?

Pada penghujung malam itulah saat terbaik memburu sumber kehidupan. dengan shalat, do'a, munajat dan juga istighfar. pemaknaan malam dari sisi ini memberi kita ruang pengaduan yang sangat luas tampa batas, tapi dengan kepastian yang sangat terjajikan luas, sebab ALLAH membuka pengabulan itu tampa membatasi jenis permintaanya

Tetapi....rahasia ini tak akan bisa di rasakan kecuali di coba dan di coba. Mata air kehidupan di ujung malam, adalah dunia nya di tengah samudra mimpi orang-orang yang lelap hingga pagi, atau bergelimpangan dosa hingga matahari jauh meninggi.

Komunikasi dengan ALLAH di ujung malam adala pelepasan Penat dan penyadaran kepercayaan yang menemukan momen terkuatnya, kepada Allah yang Maha Kuasa.

dalam munajat yang terseok antara harap dan cemas, kita bisa menumpahkan pengakuan kita, atas segala dosa dan salah agar ALLAH berkenan memaafkan. Atau mengharap kebaikan, petunjuk, dan pilihan- pilihan hidup yang terhormat di esok kelak.

Disini keangkuhan tak punya tempat . Sebab keangjuhan seringkali memerlukan atrubut- arribut visual. Sesuatu yang mungkin menjadi hiasan kita sepanajng siang, apapun nama dan bentuknya.

Bila malam datang menjelang. Berdoa'alah, agar ALLAH membangunkan kita, pada sepertiga terakhirnya, saat Ia turun ke langit bumi. untuk kita menjumpai-Nya, memohon dan mengadu kepada-Nya. Sejujurnya, dengan itulah, kita akan bisa merasakan kehidupan, dalam arti dan cinta rasanya yang benar-benar benar..!

(Ramadhan 1424H by II )
yahoodotkom

Menanti datangnya Hidayah

Mulai besok,....
ah Tidak !!!
Mulai detik ini !
Aku akan berusaha meningkatkan ibadahku demi menggapai Hidayah-Nya
Karna hidayah Alloh SWT tidak mungkin datang jika aku
hanya menunggu seperti yang selama ini aku jalani
Dan jika nanti Alloh berkenan,akan kugenggam erat
kan kujadikan nafasku